Monday 20 May 2013

Orang ‘Pikiran Kecil’, Orang ‘Pikiran Sedang’, Orang ‘PikiranBesar’, Yang Manakah Kita?

Salah satu hal menarik jika kita pernah mendengar dan mengamati perkataan dari Roosevelt, mantan Presiden USA yang mengatakan : "Small Minds discuss people, Average Minds discuss events, Great Minds discuss ideas" atau artinya“Orang ‘berpikiran kecil’ biasa ngomongin orang lain, orang ‘berpikiran sedang’ biasa ngomongin sesuatu, dan orang ‘berpikiran besar’ biasa ngomongin ide.”

Sebenarnya  kalimat itu bisa kita anggap ringan dan biasa-biasa saja. Tapi coba kita pikirkan lebih  mendalam dan disaat kita tersadar ternyata kalimat tersebut mempunyai makna yang sangat  dalam’ sekali.

Maka sebagai akibatnya...
PIKIRAN KECIL akan menghasilkan GOSIP.
PIKIRAN SEDANG akan menghasilkan PENGETAHUAN.
PIKIRAN BESAR akan menghasilkan SOLUSI.

Ketiga jenis pikiran ini ada di dalam setiap otak kita. Pikiran mana yang lebih mendominasi dan selalu kita pergunakan, begitu pulahlah hasil yang akan dikeluarkannya.

Kalau setiap saat otak kita dipenuhi oleh ‘pikiran kecil’, maka kita akan selalu asyik dengan urusan orang lain, namun tidak menghasilkan apa-apa, kecuali perseteruan. Tetapi bila  pikiran besar’ yang mendominasi, maka ia akan aktif menemukan terobosan baru.
                                                                                   
Umumnya ada tiga tipe jiwa manusia. Pertama, orang yang sering menggunakan ‘pikiran kecil’ dan biasanya paling suka ngomongin orang lain. Tipe ini adalah tipe manusia yang relatif cukup banyak dan  sering kita temukan. Baik dari lingkungan kita, atau bahkan dalam diri kita sendiri.

Fokus utama perhatian orang yang sering menggunakan ‘pikiran kecil’ adalah ‘orang lain’. Ia sibuk mengomentari orang lain. Orang yang sering menggunakan ‘pikiran kecil’  biasanya ketika bertemu teman lama, teman baru, tetangga, kolega, rekan bisnis, keluarga, atau siapapun, waktunya hanya habis untuk membicarakan hal-hal sepele yang tidak perlu, atau hal yang sudah diketahui umum, dan tidak memberikan energi positif.

Jika dilakukan content of analysis dari pembicaraannya, elemen yang terkandung di dalamnya meliputi obrolan yang tidak bermutu, kekesalan, kekecewaan, penyesalan, komplain, hal-hal masa lalu dan masa kini yang menyakitkan hati. Ia akan selalu mengulang-ngulang terus apa yang dialami. Padahal, inti ceritanya ya itu-itu saja. Mungkin hal ini sering kita alami pada diri sendiri.

Ada sebuah cerita dimana seseorang yang mengalami kesulitan disaat beradaptasi pertama kali bekerja dan mendapat tugas di sebuah perusahaan. Sering sekali  ia bercerita ke beberapa teman-temanya tentang kesulitan yang ia hadapi. Namun, setelah berkali-kali bercerita, ternyata ia menyadari, ada pola yang sama dari ceritanya disaat seorang teman dekatnya memberi masukan dan mengatakan bahwa, “apa yang dialaminya tersebut ya memang begitulah kejadiannya dan memang sudah banyak orang lain yang ikut dan pernah merasakannya. Terima saja, dan jangan fokus ke semua komplain, keluh-kesah, dan semua  perlakuan tak menyenangkan”, begitu anjuran yang disampaikan sahabatnya tersebut.

Sahabatnya tersebut  menganjurkan untuk fokus ke pembicaraan mengenai pengembangan ide besar. Ide besar dengan dampak dan kontribusi yang besar pula. “Untuk apa terlalu sering membicarakan hal yang tak bermanfaat karena akan mengerdilkan diri kita sendiri”, begitu nasehat yang diberikan sang sobat.

Coba kita renungkan sejenak, apakah kita memang sering menyalahkan orang lain. Kita telat ke kantor atau telat datang ke suatu meeting, kita beralasan ‘jalanan macet’. Kita selalu mencari faktor eksternal di luar diri kita untuk kemudian kita jadikan alasan, kambing hitam atau bahkan pembenaran terhadap tindakan kita.

Hidup yang dijalani seperti itu takkan mengantarkan kita pada akselerasi cepat menuju kesuksesan. Sebaiknya, jika kita mencari faktor kesalahan itu dari internal diri kita, maka hal ini akan lebih baik untuk pengembangan diri kita ke depan. Sehingga, alasan yang muncul ketika kita telat adalah karena tidak berangkat lebih awal, karena komitmen kita lemah dalam berjanji, karena memang disiplin kita buruk. Don’t blame others. Itu intinya.

Kedua, tipe orang yang sering menggunakan ‘pikiran sedang’. Orang seperti ini  biasanya suka  ngomongin sesuatu. Tipe orang seperti ini lebih mendingan daripada tipe pertama  tadi.

Fokus utama pembicaraannya sudah mulai berubah, tidak lagi membicarakan orang lain, komplain, keluh-kesah, apalagi membahas hal negatif.

Namun, ‘sesuatu’ itu tidak pula mencerminkan ide besar. ‘Sesuatu’ itu adalah hal biasa, menyerempet ke hal-hal positif, lebih pasti, lebih riil, tapi dari sisi kebermanfaatannya di masa mendatang kurang terasa. Tipe orang seperti ini tipe yang serba tanggung sebenarnya. Kalau bahasa gaulnya, kentang (kena tanggung).  

Ketiga, tipe orang yang sering menggunakan ‘pikiran besar’. Orang seperti ini biasanya ngomongin ide. Ini tipe ideal yang pasti sangat diinginkan banyak orang dan berharap masuk dalam  kualifikasinya.

Tipe orang seperti ini biasanya selalu membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan ide-ide untuk mengembangkan diri, mengembangkan perusahaan tempatnya bekerja maupun lingkungannya serta terus berusaha melaksanakan cita-cita besar nan ambisius, namun tetap disesuaikan dengan kapabilitas dirinya sendiri. Misalnya, seorang scientist membicarakan tentang penelitian atau penemuan baru di bidangnya.

Contoh yang tepat untuk menggambarkan tipe orang jenis ini adalah ketika ada orang berkeluh kesah padanya, ia akan selalu berusaha mengalihkan pembicaraan pada sesuatu yang lebih optimis, lebih berbobot, dan selalu saja berkaitan dengan pengembangan ide.

Tipe orang jenis ini akan selalu concern dan konsistens mengembangkan ide. “Nothing but idea”, mungkin itu yang selalu gentayangan di kepalanya.
Orang yang selalu concern pada pengembangan ide, akan berusaha mengurangi percakapan yang tidak penting (terkait orang lain) dan niscaya akan menggapai sukses pada waktu yang relatif singkat.

Bagaimana dengan kita?. Jangan takut dan jangan khawatir. Apapun profesi kita, tak ada salahnya mencoba prinsip yang dipegang oleh orang yang sering menggunakan “pikiran besar” dimaksud.

Memperbanyak membicarakan ide bagi ibu rumah tangga yang sedang arisan, tentu bagus. Bisa bikin usaha catering bersama, atau kegiatan lainnya.

Sebagai mahasiswa, perlu juga menelurkan ide besar. Jangan mau jadi mahasiswa biasa. Kenapa tak jadi mahasiswa luar biasa saja jika waktu yang diberikan Allah tetap sama saja, 24 jam sehari?

Kalau kebetulan ada dari kita yang mendapat amanah sebagai birokrat, bisa juga berperang ide dengan memutus mata rantai birokrasi yang tidak efektif. Begitu juga dengan kita-kita yang kebetulan menjadi operator, engineer maupun bidang tugas lainnya.

Ide dan inovasi adalah makanan sehari-hari yang harus selalu berseliweran di kepala kita jika ingin tetap maju dan berkembang pesat.

Jadi, semua orang bisa membentuk karakter dengan selalu concern pada pembicaraan ide, bukan pada hal remeh-temeh dan kurang bermanfaat. Tergantung kitanya masing-masing sebagai pemilik hati, mulut, mata, telinga dan organ lainnya. Akan diarahkan kemana pemanfaatan onderdil gratisan yang diberikan Tuhan kepada masing-masing kita umatNya.

Memang, selalu membicarakan ide saja tentu akan membuat hidup tak ada dinamikanya. Toh, kita bukan robot. Boleh saja ngobrol santai seputar hal remeh-temeh. Tapi porsinya dikurangi sedikit demi sedikit.

Jika melihat atau bertemu dengan hal-hal kecil, remeh-temeh, kita amati dulu, perhatikan dengan seksama, cek dari berbagai sisi (kiri-kanan-atas-bawah-depan-belakang), baru disimpan. Jangan langsung ‘dimakan’ mentah. Cukup endapkan saja dulu di kepala, tapi jangan dibahas-bahas lagi. Lupakan sesaat jika memang tidak ada keuntungan dan manfaat ketika dibicarakan saat itu. Bisa saja nanti di kesempatan lain, informasi remeh-temeh itu ada gunanya, bahkan bisa jadi menolong kita.

Bukan untuk menggurui maupun mengatur jalannya pikiran orang lain, ada baiknya mulai saat itu, setiap kita akan mengawali pembicaraan, selalu saja munculkan pertanyaan kritis seperti ini, “Sebentar, ini pembicaraan (level) orang ‘pikiran kecil, ‘pikiran sedang’, atau ‘pikiran besar’?”.
                                              
Biasanya kita pasti akan merasa lucu dan tertawa disaat akan mempraktekkannya. Tapi dengan keinginan yang muncul dari dalam diri kita sendiri dan membiasakan pembicaraan yang bernas, penuh ide-ide brilian, mengurangi pembicaraan sepele yang tidak perlu, tentu saja akan meningkatkan posisi kita untuk masuk kedalam kualifikasi orang-orang berkarakter yang selalu menggunakan ‘pikiran besar’. Pembiasaan ini memang dipandang perlu karena kata orang bijak, “Karakter terbentuk dari Kebiasaan yang Terus Berulang”.

Kalau saja orang Indonesia sudah membudaya dalam ‘melempar’ ide, bergelut dengannya, dan berusaha mengaplikasikannya, tentu negara kita akan lebih cepat keluar dari keterpurukan. Begitu juga dengan perusahaan kita tercinta pasti ini akan maju dengan pesatnya.

Jika terjadi “Perang ide dimana-mana”, apakah ditingkat level bawah maupun level atas dan setiap orang selalu bergelut dengan ide-ide konstruktif dan berusaha menerapkannya (memang itulah inti persaingan di era globalisasi), maka niscaya kemampuan perusahaan dalam peningkatan omzet penjualannya dan pemenuhan target deliverinya akan meningkat drastis. Dari yang tadinya masih dibawah 2T, mudah-mudahan akan meningkat menjadi 5T atau syukur-syukur bisa menyamai BUMN lainnya yang memiliki omzet penjualan cukup tinggi.

Kalau itu tercapai pasti akan berdampak kepada peningkatan kesejahteraan kita nantinya. Siapa tahu saja presentase kenaikan gaji kita tidak lagi bermain di range 10 % - 15 % melainkan jauh diatas range tersebut atau insentif yang kita terima setiap tahunnya bisa lebih dari 3X sama halnya dengan beberapa BUMN yang sudah mampu memberikan kesejahteraan kepada karyawannya sebanyak 30X THP pertahunnya.

Tentu saja mimpi dan angan-angan tersebut kembali berpulang kepada kita semua. Apa dan bagaimana tujuan bersama yang kita inginkan dengan menggunakan pikiran kita masing-masing sebagai motor penghasil ide-ide briliant dan applicable.

Dari ketiga kategori tipe orang di atas, yang mana menjadi pilihan kita?. Pilih jadi orang yang senang menggunakan ‘pikiran kecil’, orang ‘pikiran sedang’ atau orang yang selalu menggunakan  pikiran besar’?.

Peribahasa mengatakan, “Biasakanlah Yang Benar, Jangan Benarkan Kebiasaan”.
Share:

Friday 17 May 2013

Kisah Seorang Polisi Yang Menilang Sri Sultan HB IX



Kota batik Pekalongan di pertengahan tahun 1960an menyambut fajar dengan kabut tipis, pukul setengah enam pagi polisi muda Royadin yang belum genap seminggu mendapatkan kenaikan pangkat dari agen polisi kepala menjadi brigadir polisi sudah berdiri di tepi posnya di kawasan Soko dengan gagahnya. Kudapan nasi megono khas pekalongan pagi itu menyegarkan tubuhnya yang gagah berbalut seragam polisi dengan pangkat brigadir. Becak dan delman amat dominan masa itu, persimpangan Soko mulai riuh dengan bunyi kalung kuda yang terangguk angguk mengikuti ayunan cemeti sang kusir.

Dari arah selatan dan membelok ke barat sebuah sedan hitam berplat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan arus becak dan delman. Brigadir Royadin memandang dari kejauhan, sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju kearahnya.

Dengan sigap ia menyeberang jalan ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut Sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan hitam itu. Sebuah sedan tahun lima puluhan yang amat jarang berlalu di jalanan pekalongan berhenti dihadapannya.

Saat mobil menepi, brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat.
“Selamat pagi!” Brigadir Royadin memberi hormat dengan sikap sempurna . “Boleh ditunjukan rebuwes!” Ia meminta surat surat mobil berikut surat ijin mengemudi kepada lelaki di balik kaca , jaman itu surat mobil masih diistilahkan rebuwes

Perlahan, pria berusia sekitar setengah abad menurunkan kaca samping secara penuh.
“Ada apa pak polisi ?” Tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget , ia mengenali siapa pria itu. “Ya Allah … sinuwun!” kejutnya dalam hati .

Gugup bukan main namun itu hanya berlangsung sedetik, naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna. “Bapak melangar verbodden, tidak boleh lewat sini, ini satu arah !” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Jogja, Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Dirinya tak habis pikir, orang sebesar sultan HB IX mengendarai sendiri mobilnya dari jogja ke pekalongan yang jauhnya cukup lumayan, entah tujuannya kemana.

Setelah melihat rebuwes, Brigadir Royadin mempersilahkan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan, namun sultan menolak.

“ Ya .. saya salah, kamu benar, saya pasti salah !” Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggengam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa.
“ Jadi …?” Sinuwun bertanya, pertanyaan yang singkat namun sulit bagi brigadir Royadin menjawabnya .
“Em .. emm .. bapak saya tilang, mohon maaf!” Brigadir Royadin heran, sinuwun tak kunjung menggunakan kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya, jangankan begitu, mengenalkan dirinya sebagai pejabat Negara dan Rajapun beliau tidak melakukannya.
“Baik .. brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya, saya harus segera ke Tegal !” Sinuwun meminta brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang.

Dengan tangan bergetar ia membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tidak boleh memandang beda pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya.

Yang paling membuatnya sedikit tenang adalah tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut sinuwun menyebutkan bahwa dia berhak mendapatkan dispensasi. “Sungguh orang yang besar…!” begitu gumamnya.
Surat tilang berpindah tangan, rebuwes saat itu dalam genggamannya dan ia menghormat pada sinuwun sebelum sinuwun kembali memacu Sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal.

Beberapa menit sinuwun melintas di depan stasiun pekalongan, brigadir royadin menyadari kebodohannya, kekakuannya dan segala macam pikiran berkecamuk. Ingin ia memacu sepeda ontelnya mengejar Sedan hitam itu tapi manalah mungkin. Nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapapun berhasil menghibur dirinya.

Saat aplusan di sore hari dan kembali ke markas , Ia menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk diproses hukum lebih lanjut, Ialu kembali kerumah dengan sepeda abu abu tuanya.

Saat apel pagi esok harinya , suara amarah meledak di markas polisi pekalongan, nama Royadin diteriakkan berkali kali dari ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh gopoh menghampirinya dan memintanya menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor.

“Royadin, apa yang kamu lakukan .. sa’enake dewe .. ora mikir .. iki sing mbok tangkep sopo heh .. ngawur .. ngawur!” Komisaris mengumpat dalam bahasa jawa, ditangannya rebuwes milik sinuwun pindah dari telapak kanan kekiri bolak balik.

“Sekarang aku mau Tanya , kenapa kamu tidak lepas saja sinuwun .. biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia, ngerti nggak kowe sopo sinuwun?”.  Komisaris tak menurunkan nada bicaranya.
“Siap pak , beliau tidak bilang beliau itu siapa, beliau ngaku salah .. dan memang salah!” brigadir Royadin menjawab tegas.

“Ya tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia .. ojo kaku kaku, kok malah mbok tilang .. ngawur .. jangan ngawur …. Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri !” Derai komisaris. Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.

Brigadir Royadin pasrah, apapun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja .. memang Koppeg(keras kepala) kedengarannya.

Kepala polisi pekalongan berusaha mencari tahu dimana gerangan sinuwun, masih di Tegalkah atau tempat lain? Tujuannya cuma satu, mengembalikan rebuwes.

Namun tidak seperti saat ini yang demikian mudahnya bertukar kabar, keberadaan sinuwun tak kunjung diketahui hingga beberapa hari. Pada akhirnya kepala polisi pekalongan mengutus beberapa petugas ke Jogja untuk mengembalikan rebuwes tanpa mengikut sertakan Brigadir Royadin.

Usai mendapat marah, Brigadir Royadin bertugas seperti biasa, satu minggu setelah kejadian penilangan, banyak teman temannya yang mentertawakan bahkan ada isu yang ia dengar dirinya akan dimutasi ke pinggiran kota pekalongan selatan.

Suatu sore, saat belum habis jam dinas, seorang kurir datang menghampirinya di persimpangan soko yang memintanya untuk segera kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi menggiringnya keruang komisaris yang saat itu tengah menggengam selembar surat.

“Royadin …. minggu depan kamu diminta pindah !” lemas tubuh Royadin , ia membayangkan harus menempuh jalan menanjak dipinggir kota pekalongan setiap hari, karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya dipersimpangan soko .
“ Siap pak !” Royadin menjawab datar.
“Bersama keluargamu semua, dibawa!” pernyataan komisaris mengejutkan, untuk apa bawa keluarga ketepi pekalongan selatan, ini hanya merepotkan diri saja.
“Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang !” Brigadir Royadin menawar.
“Ngawur … Kamu sanggup bersepeda pekalongan – Jogja ?.Pindahmu itu ke jogja bukan disini, sinuwun yang minta kamu pindah tugas kesana, pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat.!” Cetus pak komisaris, disodorkan surat yang ada digenggamannya kepada brigadir Royadin.

Surat itu berisi permintaan bertuliskan tangan yang intinya : “Mohon dipindahkan brigadir Royadin ke Jogja, sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya di wilayah Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat.” Ditanda tangani Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Tangan brigadir Royadin bergetar, namun ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sangup menolak permntaan orang besar seperti sultan HB IX namun dia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota pekalongan. Ia cinta pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini .

“Mohon bapak sampaikan ke sinuwun, saya berterima kasih, saya tidak bisa pindah dari pekalongan, ini tanah kelahiran saya, rumah saya. Sampaikan hormat saya pada beliau, dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya !”

Brigadir Royadin bergetar, ia tak memahami betapa luasnya hati sinuwun Sultan HB IX, Amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya.

July 2010 kepergian purnawirawan polisi Royadin kepada sang khalik.  Suaranya yang lirih saat mendekati akhir hayat masih saja mengiangkan cerita kebanggaannya ini pada semua sanak family yang berkumpul. Ia pergi meninggalkan kesederhanaan perilaku dan prinsip kepada keturunannya, anak dan cucu-cunya.

Idealismenya di kepolisian Pekalongan tetap ia jaga sampai akhir masa baktinya, walaupun memang pangkatnya tak banyak bergeser akibat terbelenggu idealisme yang selalu dipegangnya erat erat yaitu ketegasan dan kejujuran.

Hormat amat sangat kepadamu Pak Royadin, Sang Polisi sejati. Dan juga kepada pahlawan bangsa Sultan Hamengkubuwono IX yang keluasan hatinya melebihi wilayah negeri ini dari sabang sampai merauke.

Dari cerita diatas ada pesan moral yang dapat kita petik, yaitu :
1.       Jika posisi kita adalah sebagai bawahan, janganlah takut untuk melakukan koreksi ataupun memberitahukan pimpinan bahwa kebijakan atau langkah keputusan yang dilakukan pimpinan kita adalah salah atau menyalahi prosedur (SOP) atau ketentuan perundang-undangan yang mengikat lainnya. Jika kita tetap membiarkannya maka sama saja halnya kita ikutan mendorong pimpinan itu untuk terjerumus kedalam lubang yang sebenarnya tidak kita inginkan bersama. Ya, istilahnya BERANI KARENA BENAR, walaupun memang pahit hasilnya bagi kita sendiri seperti yang dialami oleh Brigadir Royadin tersebut diatas (pangkatnya tak banyak bergeser akibat terbelenggu idealisme yang selalu dipegangnya erat erat yaitu ketegasan dan kejujuran).
2.      Jika posisi kita sebagai pimpinan, seyogyanya apa yang dilakukan oleh Sri SultanHB IX (Sadar atas kesalahannya dan tidak menunjukkan arogansinya bahwa sebenarnya sebagai salah satu pemegang tampuk kekuasaan tertinggi di wilayahnya bisa saja beliau marah dan mengumpat sang brigadir polisi karena berani menghentikan kendaraannya dan  mengatakan dia bersalah) dapat menjadi sebuah pelajaran berharga dalam melaksanakan amanah yang diemban. Apalagi ternyata Sri Sultan malah berniat memberikan penghargaan (mengusulkan kenaikan pangkat) terhadap orang yang memberikan masukan ataupun kritik terhadap kesalahan yang dilakukan Sri Sultan.
Ya mudah-mudahan saja cerita diatas dapat menginspirasi kita semua terlepas dari apapun peranan kita di unit kerja masing-masing. Apakah kita sebagai bawahan ataupun pimpinan?. Dan yang terpenting perlu kita ingat adalah hidup ini ibarat roda berputar, kadang berada diatas dan suatu saat akan berada dibawah. Sudah banyak bukti yang mengatakan bahwa seseorang yang tadinya menjadi bawahan, seiring berjalannya waktu malah menjadi pimpinan dari mantan pimpinannya terdahulu.
Kiranya siapapun yang berperanan saat ini menjadi pimpinan dan bawahan dapat menjadi sebuah ikatan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) dan bersinergi dalam mencapai sebuah keberhasilan bersama.
Semoga saja....
Share:

Thursday 9 May 2013

Malang, 9 Mei 2013, 00:05

Hiburan,. Tak hanya hal yang berbau foya, namun hanya sekedar ditemani oleh orang yang terkasih sangat cukup membahagiakan bagiku. Di saat aku ingin berbagi, ada setia yang menemani dan mendengar keluh kesahku serta memberikan nasehat yang utuh tanpa mengurangi sesuatu yang bisa membuatku tersinggung. Di saat aku bosan dengan kejenuhan semata yang seharian mengujiku, ku ingin ada kamu di sampingku. Ku ingin kamu di pikiranku. Tak hanya sebuah kejenuhan yang seharian aku lakukan dan pikirkan, namun juga kamu yang aku fokuskan di benakku. Ku tak ingin membuat pikiranku terbebani hanya satu cabang,.

Cabang pikiran yang ada di benakku saat ini hanya terfokus kepada sesuatu yang dalam keseharian kulalui. Ku ingin kamu juga ada dalam keseharianku. Ku ingin kamu ada di pikiranku. Namun entah mengapa saat ini, selain kamu tak ada di sisiku, kamu juga semu hilang di pikiranku. Aku takut lupa akan wajah aslimu. Aku takut lupa akan bau harum mu. Aku takut lupa ekspresi wajahmu ketika kamu sedih, marah, gelisah, senang, duka, bahagia. Aku takut lupa akan sikap dan tindakan reflekmu ketika aku berada di sampingmu. Aku takut lupa makanan apa kesukaanmu. Aku takut lupa apa yang bisa menjadikan kamu seketika marah kepadaku. Aku takut lupa akan bagaimana cara membuat mu bahagia. Aku takut lupa canda tawamu yang mengiringi kisah hidupku selama aku bersamamu. 

Ibarat mahasiswa yang udah satu semester menempuh kuliah perguruan tinggi. Begitu juga aku yang sudah satu semester tak kunjung bertemu denganmu. Bertemu wajahmu. Bertemu sosok tubuh yang senantiasa melindungiku ketika hujan sedang menerpa. Bertemu sang adam yang tahun 2009 menembak hatiku. Bertemu pujaan hati yang hampir 3 tahun kutunggu. Bertemu sosok pangeran hati dambaanku. Bertemu setengah jiwaku yang telah berhasil menempuh pendidikan pasca sarjana dengan hasil terbaiknya.

Kapan kubisa meraih kebahagiaan sejati yang selama ini kunanti??
Kapan kubisa menggapai keinginan bersama menuju kebahagiaan agung??
Kapan kubisa mendapatkan hasil terbaik yang selama ini ku idam-idamkan dengan sabar??
Kapan kubisa lega dengan usaha yang telah kutempuh beberapa tahun terakhir ini??
Kapan kubisa memperoleh hal yang tak bisa kuperoleh selama ini??
Indah pada waktunya, kapankah itu??
Share: