Saturday 23 July 2011

Jembatan Surga

Romeo dan Juliet, kesamaan nasib, tetapi latar belakang keluarga masing-masing berkebalikan. Ternyata seperti orang yang tak bisa berenang, memberanikan diri terjun ke laut menggunakan pelampung, namun di tengah perjalanan, pelampung bocor dan keseimbangan mulai menghilang. Tenaga dari kaki dan tangan yang bergerak yang tujuannya agar sampai ke tepian, namun malah terperosok karena arus laut.
Kau yang telah memilih aku, namun saat ini ku sendiri. Penyesalan telah memilihnya dan menerima hatinya, tak membuat hati ini tenang, tapi malah gundah. Entah apa yang sebenarnya membuat gundah. Memang seharusnya ku tak layak tuk sesali ini. Masa lalu itu merupakan keputusan yang telah dibuat secara sadar dan dari hati. Tapi suatu ketika Allah yang menyayangku, memberikan suatu rintangan kecil (bagi-Nya), tapi rintangan besar bagi manusia yang menghadapi.
Suatu rintangan yang membutuhkan sebuah kejujuran. Ternyata kejujuran sangatlah pahit. Meskipun, kadang kala kejujuran merupakan satu-satunya solusi masalah. “Kulli haq walaw kaana muuron”, katakanlah dengan jujur meski itu menyakitkan. Manusia hanya bisa menduga-duga dari apa yang terjadi atas kehendak Allah. Dan rintangan itu ‘mungkin’ adalah jawabannya.
Ada satu kisah yang dikutip dari buku dengan judul “Menjadi Wanita Paling Bahagia”, 2010, ditulis oleh ‘Aidh al-Qarni, hal 135 subbab “Buta yang Sebenarnya adalah Butanya Mata Hati”.
   Ada seorang buta yang hidup bahagia bersama seorang istri yang mencintainya dengan penuh kesetiaan, seoran putra yang sangat berbakti dan sahabat-sahabat yang tulus. Namun ada satu hal yang membuat kebahagiaannya itu sedikit berkurang, yaitu kegelapan dunia yang disebabkan oleh kebutaan matanya. Itulah makanya, ia pun sangat berharap dapat melihat terangnya cahaya agar bisa melihat kebahagiaannya dengan kedua matanya.
Arkian, suatu ketika ia mendengar kabar ada seorang tabib ahli mata dating berkunjung ke negaranya. Maka ia bergegas menemuinya dan meminta ramuan obat untuk menyembuhkan penglihatannya. Lalu, tabib itu pun memberinya sebuah ramuan dan menganjurkan kepadanya agar mengginakannya secara teratur. “Dengan ramuan itu, insya Allah tak lama lagi engkau akan bisa melihat cahaya”, ujar tabib itu member semangat.
Si buta itu terus meminum ramuan tersebut dengan tekun hingga beberapa waktu yang cukup lama. Bahkan, orang-orang di sekitarnya sempat nyaris berputus asa tatkala tak segera bisa melihat hasilnya. Pada saat-saat itulah tiba-tiba kemukjizatan terjadi: si buta itu tiba-tiba bisa melihat cahaya ketika duduk di kebun rumahnya. Sontak, rasa haru dan senang pun bergolak sedemikian rupa di dalam dirinya. Lantas, ia pun bangkit dari duduknya dan kemudian lari ke dalam rumah untuk memberitahu istri tercintanya. Namun, betapa terkejutnya ia manakala melihat istrinya ternyata sedang berselingkuh dengan orang lain di kamarnya. Dia masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Lalu, ia pun pergi ke kamar yang lain. Dan naasnya, ia mendapatkan anaknya sedang membuka lemari simpanannya untuk mencuri isi di dalamnya. Hatinya pun bergemuruh murka. Lantas, dengan suasana hati yang tak karuan itu ia berteriak mencaci tabib yang telah memberinya ramuan. “Ia bukan seorang tabib, tapi seorang tukang sihir yang terlaknat”, hardiknya seraya ia mengambil sebuah paku dan kemudian mencukil matanya. Walhasil, ia pun kembali buta dan bisa menikmati kebahagiaan sebagaimana sebelumnya.
Menyimak kisah ini, sebuah rintangan malah menjadi jalan menuju kebahagiaan. Sesuatu yang baik bagi manusia belum tentu Allah meridhoi. Namun, sesuatu yang buruk bagi manusia, niscaya Allah memberikan petunjuk atau jalan keluar atas masalah yang dihadapi. Meskipun sebagai manusia tak luput adanya kekhilafan atas keluhan, ratapan, tangisan, yang mana menyalahkan keadaan yang terjadi.
Semoga kesabaran atas rintangan yang tengah terjadi ini bisa menjadi jembatan surga kelak, Amiin.
Share:

0 komentar:

Post a Comment