Friday 12 February 2016

Botatah, adat pantang tanah #Latepost

Dengan kata lain turun tanah, anakku Syifa memiliki keturunan Raja Rao dari kakeknya. Adat yang jauh dari bayanganku sebelumnya, bahwa kalo di Jawa tuh anak dikurung di kurungan kandang ayam gitu dengan banyak barang di dalamnya. Dan si anak disuruh memilih barang apa yang dia suka. Jika dia memilih tasbih, maka dia jadi anak sholehah. Jika memilih dompet, maka dia hemat/suka menabung. Dan barang-barang lain yang disangkutpautkan dengan hal-hal positif untuk masa depannya. Dan hal demikian bisa menjadi doa. Aamiin.
Seperti apa turun tanah ala Rao. 
Berikut prosesinya.

  • Persiapan H-2 sebelum acara, Syifa dipakaikan inai. Disana kata lainnya "bainai". Berasal dari tumbuhan yang ditumbuk lalu dikasi air lemon. 






  • H-1 acara masak-memasak




  • Hari H, adalah acara do'a dan ritual turun tanah 















Tradisional sekali acara ini.
Adapun sejarah dari adat pantang tanah ini sebagai berikut :
(Dikutip dari http://raototok.blogspot.co.id/2014/01/adat-pantang-tanah-rao-ditinjau-dari.html)

Pendahuluan
Yang dimaksud dengan orang Rao dalam tulisan ini adalah; mereka yang berasal dari keturunan Rao, masih menggunakan bahasa Rao, dan masih ada mengamalkan adat resam dan budaya Rao. Budaya Rao yang paling terkenal ialah bojojak, botatah atau adat pantang tanah. Ana-anak Rao tidak boleh menyentuh tanah sebelum di jalankan upacara bojojak ini. Bahasa dan budaya Rao berbeda dengan bahasa dan budaya Tapanuli, Minangkabau dan Riau daratan. Marsdem membedakan antara negara atau orang Aceh, Rao dan Minang sebagaimana yang dikutip oleh Undri Banyak orang menetap disitu karena kemudahannya untuk berdagang, berasal dari negara-negara Achin, Rau (Rao) dan Minangkabau yang menjadikannya padat penduduk dan kaya. Emas bermutu tinggi dihasilkan dipedalamannya”
Rao adalah sebuah daerah “misteri” yang memiliki khazanah yang belum terungkap sepenuhnya hingga ke hari ini. Kezaliman sejarah, sosial, budaya, ekonomi dan pembangunan menyumbang kepada bertahannya status quo “misteri Rao tetap menjadi misteri”. Tidak adanya dana penyelidikan, klaim minangisasi, jawanisasi, dan sebagainya. Padahal banyak saksi bisu yang menceritakan khazanah tersendiri kawasan ini.
Rao adalah sebuah tamadun yang tua, ini dibuktikan dengan terdapatnya berbagai bukti arkeologis barang purbakala di Rao. Seperti candi Tanjung Medan di Petok Panti, Candi Pancahan, Arca Dwarapala Padang Nunang, Prasasti Lubuk Layang dan Candi Bukit Rao yang ditemukan oleh Amran Datuk Jorajo. Rao menjadi daerah yang penting kerana pernah menjadi kubu terakhir Paderi dari penjajahan Belanda. Rao juga pernah menjadi markas medan pertempuran PRRI dimana tokoh nasional M. Natsir pernah tinggal dalam perjuangan beliau disana. Diantara khazanah budaya yang tidak kurang pentingnya adalah adat pantang tanah, dan adat ini hanya terdapat di Rao.
Tentang Pantang Tanah
Adat pantang tanah disebut dengan berjojak artinya menjejakkan kaki ke tanah, ia juga dikenal dengan nama botatah atau belajar berjalan. Adat ini menjadi identiti pembeda antara keturunan Rao dengan yang lainnya.
Catatan: Anak-anak Rao Yang Akan Berjojak
Adat pantang tanah ini masih diamalkan hingga ke hari ini oleh masyarakat Rao diberbagai pelosok dunia. Adalah sudah menjadi adat kebiasaan bagi keturunan rao hingga saat ini bahawa mereka tidak boleh menyentuh tanah sebelum di jalani beberapa istiadat tertentu. Walaupun saat ini dalam adat Melayu Rao tidak mengenal sistem kasta seperti India atau sistem peringkat darah biru dan darah biasa seperti di Jawa, namun masyarakat Rao secara tidak langsung juga mengenal sistem taraf kedudukan sosial.
Kerabat diraja dan orang-orang yang bekerja di istana dianggap lebih mulia begitu juga dengan saudagar dan tingkatan terendah adalah petani yang memiliki status sosial yang dipandang rendah dalam masyarakat Melayu. Para pembesar dan orang-orang kaya Rao dahulu tidak berjalan diatas tanah, tetapi dijulang di atas bahu seorang kuli atau hamba.
Ini kerana dikatakan tanah memiliki derajat yang rendah dalam budaya masyarakat melayu yang menganggap petani adalah bahawa derajat yang rendah dalam lingkungan masyarakat kuno. Kerendahan tanah juga pernah diperkatakan oleh Iblis yang menganggap dirinya lebih mulia kerana dijadikan dari api dibandingkan Adam yang dijadikan dari tanah. Dalam falsafah Melayu kuno juga mengenal empat unsur tubuh manusia iaitu api, air, udara dan tanah. Empat unsur yang terdapat dalam tubuh manusia ini sangat terkenal dalam dunia tharikat di Rao
Sebagai keturunan diraja, masyarakat Rao tidak dibenarkan menjejakan kaki di tanah sebelum di upacarakan. Biasanya adat ini akan dijalankan oleh seorang yang ahli dan telah mewarisi ilmu untuk menjojakkan orang. Dengan berbekalkan bunga dan berbagai-bagai peralatan lainnya si anak akan dijalankan di atas bunga, dimandikan dan setelah itu di sapukan tanah di tangan, kaki dan keningnya. Jadi dalam pandangan penulis, adat ini erat kaitannya dengan falsafah hidup orang Rao yang lahir sebelum kedatangan Hindu, Budha dan Islam lagi ke Rao.
Catatan: Peralatan Berjojak
Sebelum acara botatah dimulai terlebih dahulu pihak keluarga mempersiapkan bahan-bahan untuk botatah, yakni sirih, nasi kunyit, minyak manis, sodah, upiah, bunga tujuh warna, dan lain lain. Kemudian anak yang akan ditatah disirami dengan beras warna kuning. Beras tersebut disirami ke kepala anak sebanyak 3 (tiga) kali. Ini menandakan, simbol dan doa agar diberi pelimpahan rezki bagi anak tersebut nantinya. Langkah selanjutnya, menjalankan anak diatas bunga sebanyak tiga kali, anak diajarkan cara berjalan dengan baik. Kemudian, memandikan anak dengan melulurkan minyak wangi keseluruh badannya merupakan rangkaian pelaksanaan terakhir. Anak dimandikan bersama dengan orang tua perempuan anak dan tukang tatah. Setelah acara botatah tersebut dilaksanakan, anak baru boleh menginjak tanah setelah dua hari kemudian.
Catatan: Meniup ubun-ubun (mengobati si anak)
Beberapa pandangan tentang asal – usul Pantang Tanah bagi Anak Raja Rao menurut masyarakat Rao yang ditulis oleh Syamsiruddin antara lain:
1.      Pantang tanah ini bermula sewaktu Anak Raja yang dijemput ke Pagaruyung sesampainya di Rao dijejakkan ke tanah, kerana begitulah adat Raja–Raja Pagaruyung.
2.      Menurut informasi bahwa dulu di Rao pernah terjadi musibah besar yang mana orang Rao banyak yang meninggal kerana di bunuh oleh hantu Rao (malaria). Menurut A. Raja Junjungan, itulah sebabnya orang negeri sontang banyak yang pindah ke arah Barat iaitu ke Cubodak Simpang Tonang sekarang kerana menghindari hantu Rao. Untuk menghindari negeri Rao dari musibah ini turunlah Putri Sangkar Bulan (dewa Chandra) dari Dhyang (khayangan). Upacara Sakral dilakukan menyambut kehadirannya, inilah asal mula orang Rao memanggil Dhyang terhadap perempuan.
3.      Asal mulanya berpantang tanah atau monjojak tanah bagi Anak Raja – Raja di Rao berasal dari Putri Sangkak Bulan yang kawin terpaksa dengan orang yang tidak dicintainya iaitu Rajo Songek Baung kerana sangat bencinya Putri terhadap Raja sehingga beliau bersumpah terhadap anak keturunannya apabila anak keturunannya terkena tanah atau abu atau memegang bunga sebelum cukup umur 15 bulan atau belum dijejakkan apabila anak yang terlanggar pantang tersebut tidak cepat diobati maka sianak akan mati, atau lumpuh atau bodoh atau cacat seumur hidup dan tidak dapat mewarisi tahta kerajaan leluhurnya.
Jika di analisa pendapat pertama tentu kita telusuri apakah benar budaya pantang tanah atau monjojak tanah adalah budaya Raja – Raja Pagaruyung? Menurut pendapat sebahagaian masyarakat Rao di Pagaruyung tidak ada budaya pantang tanah dan monjojak tanah, bahkan budaya ini tidak ada pada keturunan Raja – Raja Melayu dan tidak ada juga budaya ini didaerah lain, jadi penulis (Syamsiruddin) tidak sependapat dengan pendapat pertama ini.
Kita tinjau pula pendapat kedua yang mengatakan akibat mengganasnya hantu Rao, analisa ini hanya sebuah pemikiran/reka-rekaan saja kerana penulis tahu benar bahwa asal-usul orang Sontang berasal dari Pidoli yang dibawa oleh Raja Gumanti Porang datang ke negeri Rao di akhir abad ke 17, perlu diketahui bahwa Rajo Gumanti Porang adalah cicit dari Tuanku Patuan Saripado/Sultan Saripada yang melawat ke Aceh pada awal abad ke 17, berarti di daerah Rao jauh sebelum abad ini sampai sekarang sudah beragama Islam. Sedangkan budaya pantang tanah dan monjojak tanah ini berlaku sudah berbad-abad lamanya kemungkinan berawal sekitar abad 12 – 14 yang ketika itu orang-orang Rao masih menganut agama bukan Islam. Setahu penulis (Syamsiruddin) ketika itu Raja Gumanti Porang dan pengikutnya belum lagi datang ke Rao dan isu mengenai musibah akibat dibunuh hantu Rao (malaria) ketika itu tidaklah benar kerana pada abad 12 hingga 14 daerah Rao belum ada tobek ataupun boncah (rawa) yang ada hanya perbukitan dan lahan perladangan masyarakat tentang ikan ketika itu di sungai-sungai yang ada di Rao ikan sangat berlimpah. Jadi ketika itu tidak ada endemi malaria di daerah ini, endemi malaria baru berjangkit di Rao akhir abad 19 manakala orang-orang Rao sudah membuka usaha tobek (perikanan darat) atas usul pemerintah Hindia Belanda, sedangkan kata diyang bukanlah berasal berasal dari kata dhyang (khayangan) tetapi asal kata diyang bermula berasal dari seorang Raja Rao yang stress akibat kematian istri yang dicintainya, maka setiap hari Raja meratap di kubur istrinya sambil berbalas pantun sendiri dan dalam pantun inilah terucapkan kata diyang yang artinya dik sayang, menurut cerita dari orang tua-tua bahwa Raja tersebut tidak memanggil nama kepada istrinya melainkan dengan panggilan dik sayang kerana sangat cinta terhadap istrinya. Orang sontang pindah ke barat (Cubodak dan Simpang Tonang) bukanlah kerana hantu Rao tapi kerana di Sontang sudah tidak ada lagi tanah yang subur untuk tempat perladangan (pertanian) kerana sudah dikuasai Datuk-datuk lain sebagai tanah ulayat negerinya masing-masing, sedangkan tanah yang masih kosong dan subur adalah disebelah barat sontang makanya mereka pindah kearah barat, tentang upacara sakral yang dikatakan diatas tidak pernah terjadi kerana pada masa itu orang Rao dan Sontang sudah memeluk agama Islam dan sudah tidak percaya kepada Dewa-Dewi, kita tidak tahu siapa yang dijejakan pada Upacara Sakral tersebut, dalam hal ini penulis (Syamsiruddin) juga tidak sependapat dengan pendapat kedua.
Catatan: Mengobati Kaki Anak agar dapat berjalan di atas tanah
Pendapat ketiga dapat penulis (Syamsiruddin) terima sepenuhnya kerana menurut pitua secara turun temurun bahwa berpantang tanah dan Upacara Monjojak tanah bagi Anak Raja- Raja Rao kerana disebabkan oleh Sumpah Putri Sangkar Bulan yang menyumpahi anak keturunannya dengan Rajo Songek Baung Suami yang tidak dicintainya dengan sumpah Anak keturunannya harus berpantang tanah dan bunga sejak lahir sampai berumur 15 bulan dan harus dijojakkan dengan upacara Monjojak tanah baru boleh menjejak tanah dan memegang bunga-bungaan selamanya, pada masa itu Agama yang dianut masyarakat Rao adalah Agama Budha Mahayana, sumpah ini berlaku sampai sekarang.
Catatan: Menaburkan Beras Kuning sebagai lambang kemakmuran
Upacara monjojak tanah ini dilaksanakan manakala Anak Raja ( Keturunan Raja ) sudah berumur 15 bulan diwaktu bulan naik ( tidak boleh lewat dari 15 hari bulan ) kerana menurut orang tua-tua kalau pelaksanaan Jojak Tanah dilaksanakan pada umur 15 bulan lewat 15 hari bulan pelaksanaan ini kurang baik , harus dilaksanakan pada bulan ganjil berikutnya .diwaktu bulan naik. Upacara Monjojak Tanah dilaksanakan dengan perlengkapan sebagai berikut :
Emas batang 8. Sitawar Sidingin, Empu Kunyit 9. Keris/Sewar, Bunga tujuh macam 10 Baju Raja, Sipulut Kuning 11 Kain Songket, Beras kuning 12. Tikuluk (Detar), beras putih 13 Singgang Ayam, Bertih ( Padi yang direndang sampai meletus berasnya) 14. Nasi putih.
Anak raja yang akan dijejakan ketanah sehari sebelumnya tangan dan kakinya diberi Inai , pada hari pelaksanaan upacara monjojak tanah si anak diberi pakaian Raja lengkap dengan Keris. Rantai dan gelang emas serta perlengkapan Monjojak kotanah sudah dilengkapi seperti Tanah hitam yang ada dalam wadah (talam) sudah diletaknya di ruangan upacara yang beralaskan Permadani atau tikar, bunga tujuh rupa juga sudah diserakan diatas tikar khusus berikut Bertih, beras kuning, beras putih, Sitawar sidingin diletakkan pada tempatnya, Sipulut Kuning, Nasi Putih ,Singgang Ayam sudah disiapkan disamping peralatan yang ada demikian pula Air bunga tujuh rupa juga sudah disiapkan terlebih dahulu. Manakala Upacara akan dilaksanakan maka si Anak diserahkan kepada Tukang Jejak tanah yang telah diundang, acara selanjutnya adalah :
Oleh tukang Jojak tanah menyapu / menyentuhkan ompu kunyit kekening si anak disentuhkan lalu ke ulu hati, dari ketiak tangan sampai ketelapak tangan, dari pangkal paha sampai ke telapak kaki, demikianlah pula terhadap emas batang disapukan kedaerah-daerah badan si anak seperti diatas. Selanjutnya si anak dijejakkan kakinya kebunga diteruskan dijejakkan ketanah hitam setelah itu si anak dimandikan dengan air bunga tujuh rupa maka acara Monjojak Tanah selesai, besoknya si anak dijejakkan ketanah dihalaman rumah selama tiga pagi berturut–turut barulah anak raja tersebut bebas menjejak tanah selamanya mememijak tanah dan memegang bunga.

Adat Pantang Tanah Dalam Pandangan Islam
Adat pantang tanah tetap bertahan hingga ke hari ini baik oleh orang Rao yang tinggal di Rao mahupun generasi Rao yang telah berhijrah ke berbagai pelosok dunia. Adat ini tetap bertahan ditengah kuatnya tradisi ke Islaman dengan ramainya para ulama yang berasal dari daerah ini. Sejauh pengetahuan penulis, belum pernah terdengar ada ulama, ustaz, Syeikh, Buya di Rao yang mengharamkan adat ini.
Kuatnya pengaruh Islam pada masyarakat Rao dapat dilihat dari nama-nama orang Rao silam ataupun dari nama-nama orang tua yang masih hidup di Rao saat ini yang Islami. Diperkirakan dampak dari peperangan PRRI, kekuasaan orde lama dan orde baru, masyarakat Rao telah menukar nama-nama mereka kepada yang tidak islami, untuk menghilangkan jejak dizaman orde lama, dan untuk mudah menjadi pegawai kerajaan dizaman kekuasaan orde baru yang mengarah kepada jawanisasi.
Dalam pandangan penulis adat berjojak berlainan dengan kes Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang berjanji tidak akan pulang ke Minang selagi orang minang mengamalkan adat yang bertentangan dengan Nash dalam al-Qur`an dan Sunnah yang jelas dan pasti hukumnya. (Khat`iyyun dilalah). Adat itu seperti pembahagian harta warisan yang melebihkan bahagian anak perempuan di atas anak lelaki. Sementara dalam kes adat pantang tanah ianya tidak melibatkan Nash yang Khat`iyuudilalah tadi. Adat pantang tanah bukan masuk dalam ranah, ibadah ataupun akidah.
Mengenai kuatnya pengaruh Islam, Fakih Shagir pernah menuliskan bahawa Rao pernah menjadi pusat peradaban ilmu mantiq dan ma`ani yang kemudian ilmu itu dikembangkan oleh Tuanku Nan Kaciak di Koto Gadang. Dalam beberapa makalah penulis yang telah disampaikan dalam berbagai seminar peringkat nasional dan antarabangsa juga menjelaskan bahawa sangat ramai orang Rao yang menjadi ulama suatu ketika dahulu dan kuatnya pengaruh ajaran Islam di Rao tidak dapat diragukan lagi.
Dalam pandangan penulis, adat pantang tanah ibarat adat Tabut di Pariaman dan adat-adat di alam melayu lainnya yang tidak diharamkan ulama pengamalannya. Hampir setiap negeri dan daerah di Nusantara memiliki identiti adat tersendiri yang masih dipertahankan dan tidak dilarang atau diharamkan oleh para ulama.
Adat pantang tanah bukanlah bagian dari ritual, pemujaan, penyembahan pada selain Allah. Ia juga bukan bagian dari akidah, fikih, ibadah ataupun tasawuf. Adat pantang tanah adalah bagian dari muamalah, di mana hukum asal muamalah adalah harus, kecuali ada dalil yang melarang atau menyuruhnya dan hukum asal ibadah adalah haram, kecuali ada dalil yang menunjukannya.
Dalam Qawaid Khamsah (kaedah yang lima) dinyatakan bahawa 1. “Perkara itu dengan maksudnya”. Kaedah ini ditopang oleh Hadis Nabi “setiap perbuatan itu dimulai dari niat dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”. Berkenaan dengan ini, tidak ada sedikitpun niat tukang menjojak dan ahli keluarga untuk melakukan penyembahan, ritual, pemujaan pada selain Allah diwaktu melakukan acara bertatah. Doa yang dibaca waktu menjojak itu adalah jelas doa pada Allah dan istiadat yang dilakukan adalah bentuk usaha yang selalu diiringi dengan tawakal (berserah diri) pada Allah. Ia lebih kurang sama dengan berjumpa dokter untuk berobat. Dan kaedah ke lima iaitu al-adatu muhakkamah (adat itu menjadi hukum). Tentu sahaja adat yang tidak bertentangan dengan akidah dan hukum hakam dalam agama Islam yang boleh dijadikan hukum. Adat itu sendiri ialah bererti kebiasaan yang diamalkan oleh masyarakat.
Mengenai hukum adat pantang tanah kita berpegang pada pandangan Dr. Yusuf Qaradhawi yang menukilkan tentang prinsip-prinsip Islam tentang halal dan haram iaitu; 1. Segala sesuatu pada asalnya adalah mubah (boleh), 2. Menghalalkan dan mengharamkan adalah hak Allah semata-mata, 3 mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram sama dengan syirik, 4. Mengharamkan yang halal akan mengakibatkan timbulnya keburukan dan bahaya, 5. Pada yang halal terdapat sesuatu yang dapat menghindarkan yang haram, 6. Apa yang membawa kepada yang haram adalah haram, 7. Bersiasat atas yang haram adalah haram. 8. Niat yang baik tidak dapat membenarkan yang haram, 9. Menjauhkan diri dari syubhat kerana takut jatuh ke dalam yang haram, 10. Tidak ada pilih kasih dan pemilah-milahan terhadap segala sesuatu yang haram.
Sementara tentang kemaslahatan kita berpegang pada pandangan al-Shatibi dalam bukunya al-Muafaqat yang menyebut ada dua tujuan syarak` dalam Islam iaitu; untuk menolak kebinasaan dan mencapai kemaslahatan, “daf`u al mafasid wa jalbu al-masalih.” Metode ini beliau uraikan menjadi lima macam `magasyid al-syariah` iaitu; Menjaga agama, Menjaga nyawa, Menjaga kehormatan, Menjaga akal dan menjaga harta. Lima Tujuan syara` tersebut juga digunakan sesuai dengan tiga keadaan iaitu; Daruriyyah, Hajjiyyah dan Tahsiniyah (dharurat, keperluan dan untuk bermegah-megah).
Dalam fatwa majelis ulama Indonesia menyebutkan maslahat yang dibenarkan oleh syara` ialah maslahat yang tidak bertentangan dengan Nash. Sementara tidak ada satu pun Nash yang Khat`iyud dilalah (dalil yang pasti) yang mengharamkan pengamalan adat pantang tanah ini.
Adat pantang tanah juga tidak dapat dimasukkan dalam kategori khurafat. Ini kerana menurut Jabatan Mufti Melaka, khurafat ialah amalan yang bertentangan dengan Islam, ramalan, pemujaan dan kepercayaan yang menyimpang dari Islam. Dan adat pantang tanah bukan bagian dari itu.
Setelah membaca defenisi Syirik yang terdapat dalam buku tafsir sepersepuluh dari al-Qur`an al-Karim, penulis tidak menemukan satu pun indikasi atau ciri-ciri Syirik dalam amalan adat pantang tanah yang diamalkan oleh masyarakat Rao saat ini.
Adat pantang tanah juga tidak terdapat dalam buku ensiklopedi syirik dan bid`ah Jawa. Ianya juga bukan pengajaran yang bertentangan dengan al-Qur`an dan Sunnah.Walaupun adat pantang tanah mungkin berasal dari adat sebelum masuknya Islam ke Rao, namun adat berjojak tanah bukanlah bagian dari sembahyang, penyembahan, ritual agama Hindu, Budha, singkretisme atau animisme lainnya.

Nilai Positif Dari Adat Pantang Tanah
Adat pantang tanah diamalkan dalam komuniti masyarakat Rao mengikut kemampuan masing keluarga tentang besar atau kecilnya perayaan itu. Sejauh pengamatan penulis tidak ada terdapat unsur menunjuk-nunjuk atau berlomba-lomba ingin lebih besar sebagaimana acara hari jadi ulang tahun anak atau acara pernikahan.
Adat pantang tanah hanyalah ibarat perayaan hari jadi, adat resam perkahwinan, tepung tawar, bersanding dan sebagainya yang selalu diamalkan, namun tidak terdapat unsur penyembahan atau ritual di dalamnya. Berjojak bukanlah kategori ibadah yang sering dipertikaikan seperti do`a selamat, baca yasin setiap malam jumaat yang masuk dalam arena ibadah.
Tidak tertutup kemungkinan bahawa adat pantang tanah berasal dari zaman sebelum Islam masuk ke Rao lagi. Namun yang pasti adat ini telah diberi warna Islam seperti adanya bacaan surah al-Fatihah, selawat dan do`a waktu acara ini. Ia lebih kurang sama dengan do`a selamat yang banyak dilakukan oleh masyarakat Melayu, padahal tidak ditemukan dalil suruhannya atau larangannya dalam al-Qur`an dan Sunah.
Menurut Hamka Dizaman purbakala masyarakat belum menganut agama tertentu, akan tetapi didalam jiwa mereka mulai tumbuh kepercayaan yang dipengaruhi oleh alam sekitar, soal hidup dan mati. Menurut Naqib Alatas bahawa tidak ada jaminan adat seni budaya melayu berasal dari agama Hindu atau Budha. Ini kerana bahawa kedatangan Hindu ke Alam Melayu tidak merobah pandangan hidup yang berdasarkan seni budaya masyarakatnya.
Dalam acara pantang tanah ini pihak keluarga akan mengundang tetangga dan keluarga terdekat untuk memeriahkan acara ini. Acara biasanya akan diikuti dengan acara makan-makan. Dalam memasak itu pula dilakukan secara gotong-royong. Nilai positif yang terdapat dalam adat ini adalah ia menjadi ajang silaturahim antara keluarga, dan budaya gotong-royong serta dakwah islamiyah.
Namun sebagai saranan penulis, adat ini tetap dapat dipertahankan sebagai ajang silaturahim antara keluarga, tetangga dan penduduk kampung, taman dengan memberi lebih lagi warna Islam di dalamnya seperti dengan mengundang makan orang miskin dan anak-anak yatim, mengadakan nasehat tausiyyah ringkas dan sebagainya.
Masyarakat Rao telah menyebar diberbagai tempat dalam kawasan Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, USA, Newzeland dan sebagainya. Beberapa keluarga Rao telah membangun persatuan keluarga Rao dengan tujuan menjalin kembali hubungan kekeluargaan dan silaturahim yang selama ini terpisah-pisah. Seperti Ikatan Keluarga Besar Rao (IKBR) di Medan, Jakarta, Palembang. Di Malaysia pula dikenal Jalinan Anak Rao (JARO) yang mewakili persatuan masyarakat Rao secara keseluruhannya di Malaysia. Cara yang paling mudah mengenal sesama keturunan Rao adalah dari loghat bahasa mereka dan dari adat pantang tanah (berjojak) yang masih diamalkan hingga ke hari ini. Adat ini menjadi identiti pemersatu yang dapat menjalin silaturahim keluarga yang terputus selama berabad lamanya.
Diharapkan adat, budaya dan identiti Rao lainnya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, sebaiknya dipertahankan dan di budayakan, kerana itu adalah identiti yang akan mendekatkan silaturahim antara sesama keturunan Rao di mana pun berada dan berjumpa. Islam sangat menggalakkan silaturahim sesama keluarga dan manusia. Ini juga sesuai dengan Pepatah Melayu mengatakan “biar mati anak asal jangan mati adat”.
Catatan: Menyentuhkan Kaki Ke Tanah (pijak Tanah)
Identiti ibaratkan jenis kelamin, sebab ia semacam jati diri yang dapat menjadi pemersatu masyarakat Rao dimanapun mereka berada dan berjumpa dengan sesama masyarakat Rao lainnya diseluruh dunia. Tanpa identiti boleh diibaratkan seperti pondan yang punya jenis kelamin kacau dan tidak menentu. Sebagai masyarakat yang bertamadun, sebaiknya masyarakat Rao diseluruh dunia dapat mempertahankan identiti mereka walaupun hanya sebahgian sahaja. Bahasa dan berjojak menurut penulis adalah dua adat budaya yang mudah diamalkan dan dipertahankan.
Catatan: Bertatah (Berjalan di atas bunga)
Kesimpulan
Berjojak adalah adat peninggalan budaya lama yang telah diwarisi secara turun temurun oleh masyarakat Rao. Walaupun adat ini berkemungkinan berasal dari awal sebelum Islam lagi, namun adat ini tidak ada kaitannya dengan penyembahan, ritual atau sembahyang dalam agama selain Islam.
Seratus peratus (100%) orang Rao adalah beragama Islam dengan mengamalkan ajaran Islam yang kuat. Ramainya ulama yang kembali dari tanah suci serta banyaknya institusi ke Islaman menjadi penguat argumen ini. Dalam demikian, tidak ada satupun ulama dan Syeikh Rao sejauh ini yang mengharamkan adat budaya ini.
Adat berjojak memiliki nilai positif seperti untuk mengeratkan hubungan silaturahim antara keluarga, tetangga dan sebagainya. Berjojak juga menjadi identiti pemersatu masyarakat Rao seluruh dunia yang akan membawa kepada terjalinnya hubungan silaturrahim. Adat berjojak juga telah menjadi budaya yang memiliki nilai seni keindahan yang tinggi. Namun demikian, adat ini perlu dihiasi lagi dengan nafas Islam seperti untuk memberi makan fakir miskin, mengadakan nasehat ringkas agama, bacaan al-Qur`an dan sebagainya.
Dengan argumen dan analisa diatas, maka sangatlah wajar jika adat budaya berjojak ini dilestarikan menjadi identiti masyarakat Rao seluruh dunia.
Wallahu `alam
Share:

2 comments:

  1. ih lucu bgttt dede nya...
    gemesss pengen aku ciumm pipinya...

    ReplyDelete
  2. keren kak,,, (y)
    http://abdulrahmanluthfiansyah.blogspot.co.id/2015/01/sejarah-pantang-tanah-rao-pasaman-dari.html
    kunjungi juga blog saya y kak,,,heheheh

    ReplyDelete