Friday 17 September 2010

Filosofi Ketupat, Opor Ayam, dan Baju Baru

Mengapa Hari Raya Idul Fitri identik dengan Ketupat?
Ketupat memiliki makna tersendiri. Bungkus ketupat dibuat dari janur kuning yang dianyam sedemikian rupa hingga membentuk segi empat. Janur kuning merupakan lambang dari penolak bala. Pada Kraton Surakarta, ada sepotong kain panjang yang disebut Samir yang merupakan aksesoris wajib yang harus dikenakan. Samir kuning tersebut dipercaya sebagai penolak bala. Nah, janur kuning inilah kemudian yang dianggap sebagai Samir penolak bala. Dulu, selongsong ketupat itu dibuat sendiri. Tangan-tangan terampil wanita bekerja dengan cekatan merangkai helai-helai janur. Di kala pembuatan selongsong ini biasanya suasana begitu ramai. Inilah yang membuat suasana menjelang Lebaran begitu meriah. Kalo kini sih, cukup membeli saja di pasar yang biasanya dijual per ikat berisi 10 selongsong atau selusin selongsong.
Bentuk segi empat merupakan wujud dari prinsip “kiblat papat lima pancer”, yang bermakna bahwa ke mana pun manusia menuju, pasti selalu kembali kepada Tuhan.
Secara harfiah, “kiblat papat lima pancer” bermakna “empat arah mata angin dan satu pusat”. Kalo dijelantrahkan bisa bermakna macam-macam. Salah satu maknanya adalah makna filosofi keseimbangan alam. Kita tahu ada 4 arah mata angin utama, yaitu timur, selatan, barat, dan utara. Akan tetapi semua arah ini bertumpu pada satu pusat. Bila salah satunya hilang, keseimbangan alam akan hilang. Begitu juga dengan manusia. Ke mana pun manusia ini pergi (ke penjuru mata angin) tentu dia tak lepas dari yang namanya pusat, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, supaya manusia tetap “seimbang” hendaklah selalu ingat kepada Tuhan, pusat dari segalanya. Itulah kira-kira hasil otak-atik gathuk yang saya tangkap dari filosofi “kiblat papat lima pancer” ini. Kemudian beras yang menjadi isi dari ketupat menjadi lambang dari kemakmuran. Diharapkan setelah hari raya, kita akan selalu dilimpahi dengan kemakmuran. Kata “ketupat” atau “kupat” berasal dari kata bahasa Jawa “ngaku lepat” yang berarti “mengakui kesalahan”. Sehingga dengan ketupat kita diharapkan mengakui kesalahan kita dan saling memaafkan serta melupakan kesalahan dengan cara memakan ketupat tersebut. Ada lagi tradisi unik yang kini sudah sangat jarang ditemukan. Selain simbol maaf, ada yang percaya kalo ketupat dapat menolak bala. Caranya dengan menggantungkan ketupat yang sudah matang di atas kusen pintu depan rumah. Biasanya ketupat digantung bersamaan dengan pisang. Ketupat ini digantungkan berhari-hari bahkan berbulan-bulan sampai kering hingga Lebaran tahun berikutnya. Tapi tradisi menggantungkan ketupat yang kental nuansa mistisnya ini kini sudah sangat jarang ditemukan. Percaya atau tidak, tapi itulah filosofi dan tradisi yang saya ketahui dari cerita orang-orang tua.

Mengapa ketupat selalu ditemani opor aiam?
Untuk membuat opor ini butuh proses. Harus mengeluarkan ayam ini dari kulkas agar bunga-bunga es yang membuat ayam itu tidak basi mencair. Butuh waktu sebelum ayam itu siap dibumbui. Seperti hidup juga begitu kan? butuh proses.Untuk mendapatkan sesuatu yang kita impikan tentu saja ada rangkaian hal yang harus di jalani. Harus sabar adanya. Jangan tergoda untuk mengambil jalan pintas. Coba apa jadinya kalau langsung memasak ayam itu tanpa menunggu ia mencair terlebih dahulu? Ayam itu pasti cuma matang di luar tapi bagian dalamnya masih mentah ! Pasti masih ada darah-darah beku yang membuatmu enggan melahap opor ayam ini. Nikmati proses hidup itu agar jiwa kita matang penuh kedewasaan dan kebijaksanaan.
Sembari menunggu ayam matang, persiapkan proses lainnya misalkan menyiapkan peralatan makan. Terkadang untuk mendapatkan karakter yang baik, butuh waktu yang lama. Sementara karakter kita dibumbui, kerjakan hal lain yang berguna. Jangan hanya fokus untuk menunggu bumbu ayam meresap karena bisa-bisa kita akan merasa bosan. Warnai hidup selagi proses itu berjalan.
 Masih ada satu proses lagi sebelum opor ayam ini benar-benar siap dihidangkan. Yaitu proses menghidangkannya. Setelah matang, mengangakat dan meindahkannya ke dalam mangkukpun ga boleh gegabah. Kuah yang bergolak di dalam panci itu bisa tumpah dan melukai kalau gegabah dalam mengangkatnya. Harus dipegang kuat-kuat dan di angkat pelan-pelan. Nah seperti karakter kita ini. Kepribadian kita teruji dengan tempaan masalah dan panasnya kuah yang mendidih. Jangan mengeluh dan gegabah, jalani pelan-pelan. Karena dalam tekanan, jikalau gegabah tindakan kita mungkin dapat menyakiti diri sendiri atau orang lain yang berada di sekitar kita termasuk pasangan kita. Jadi bukan sekedar memasak, tapi ada filosofi di dalamnya. Banyak yang bisa kita pelajari dalam proses memasak dalam hidup ini. 

Identik dengan baju baru, mengapa??
Mengenakan baju baru juga bagian tradisi Lebaran. Filosofinya mungkin bahwa baju baru adalah simbol dari ekspresi suasana jiwa yang baru dan serba bersih, setelah sebulan menyucikan diri dengan berpuasa. Dengan suasana batin yang bersih itu, harapannya umat Islam mudah membangun sikap persaudaraan antara sesama muslim khususnya, dan sesama manusia agar dapat hidup berdampingan dengan damai dan bermartabat.

Semoga bermanfaat..

Share:

0 komentar:

Post a Comment